Senin, 25 Juni 2012

PROPOSAL SKRIPSI KU

PRESTASI BELAJAR FISIKA POKOK BAHASAN GETARAN  DAN GELOMBANG MELALUI PENDEKATAN PROBLEM
 POSING BERBASIS AKTIVITAS 


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Belajar merupakan hal yang sangat mendasar yang tidak bisa lepas dari kehidupan semua orang. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan yang meningkat, pemerintah berupaya untuk meningkatkan dunia pendidikan. Hal yang harus dilakukan oleh dunia pendidikan tentunya harus mempersiapkan sumber daya manusia yang kreatif, mampu memecahkan persoalan-persoalan yang aktual dalam kehidupan dan mampu menghasilkan teknologi baru yang merupakan perbaikan dari sebelumnya.
Untuk dapat menciptakan teknologi baru dan agar tidak terbelakang dari dunia ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta mempersiapkan sumber daya manusia yang kreatif dalam memecahkan persoalan-persoalan aktual kehidupan, maka peranan fisika sangat penting bahkan dapat dikatakan teknologi takkan ada tanpa fisika. Oleh karena itu penguasaan suatu konsep fisika sangat penting dalam mendukung hal tersebut. 

            belajar fisika hendaknya fakta konsep dan prinsip-prinsip fakta tidak diterima secara prosedural tanpa pemahaman dan penalaran. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (siswa). Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka. Pengetahuan atau pengertian dibentuk oleh siswa secara aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari guru mereka.
            Penelitian  pendidikan sains pada tahun-tahun terakhir telah menunjukkan suatu pergeseran ke arah paradigma konstruktivis. Berkenaan dengan pembelajaran konstruktivis, tugas seorang guru adalah menyediakan atau memberikan kegiatan yang dapat merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka mengekspresikan gagasan-gagasan mereka serta mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Jadi peranan guru dalam pembelajaran adalah mediator dan fasilitator dalam pembentukan pengetahuan dan pemahaman siswa (Suparno, 1997:65).

Untuk mendukung hal itu, para pakar pendidikan telah mengembangkan berbagai sistem pembelajaran yang lebih memperhatikan aspek siswa, salah satunya adalah pembelajaran dengan pendekatan problem posing. Problem posing (pengajuan soal) adalah salah satu model pembelajaran yang berorientasi pada aliran konstruktivis, berbeda dengan pembelajaran yang bersifat konvensional yang lebih menekankan pada hapalan yang cenderung mematikan daya nalar dan kreativitas berpikir anak (Hudojo, 1998).
            Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan manfaat dari pembelajaran problem posing, problem posing merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam pembelajaran fisika yang dapat mengaktifkan siswa, mengembangkan kemampuan berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah serta menimbulkan sikap positif terhadap fisika. Membiasakan siswa dalam merumuskan, menghadapi dan menyelesaikan soal merupakan salah satu cara untuk mencapai penguasaan suatu konsep akan menjadi lebih baik. Hal ini sejalan dengan pendapat aliran Behaviorisme yang menyatakan bahwa untuk mencapai pemahaman yang lebih baik dapat dilakukan dengan cara mengulang-ulang masalah yang disampaikan (Hudojo, 1988:32).
            Dikaitkan dengan pengertian fisika sebagai bagian dari IPA, model pembelajaran dengan problem posing berbasis aktivitas ini cocok untuk diterapkan dalam pembelajaran fisika. Hal ini karena problem posing berbasis aktivitas lebih menekankan pada keaktifan siswa dalam belajar, siswa terlebih dahulu mengadakan kegiatan-kegiatan di laboratorium yaitu proses mengamati, mencatat hasil pengamatan, menganalisis dan menyimpulkan kegiatan praktikum yang telah dirancang oleh guru. Hal itu akan lebih membuat belajar fisika menjadi menyenangkan dan lebih berkesan, karena siswa terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Fisika merupakan generalisasi dari gejala alam yang tidak perlu dihapal tetapi perlu dimengerti, dipahami dan diterapkan.

            Pada tingkat SLTP dan SMU, strategi pengajuan soal selaras dengan tujuan khusus pengajaran yaitu agar siswa dapat mempunyai pandangan luas dan mempunyai sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin serta menghargai kegunaan fisika. Dalam pembelajaran, guru hendaknya memilih strategi yang melibatkan siswa baik secara mental, fisik maupun sosial.

            Jika dilihat dari kenyataan yang ada di lapangan, bahwa sistem pembelajaran yang diterapkan di SMUN, lebih didominasi oleh pembelajaran konvensional. Siswa cenderung pasif karena mereka hanya menerima materi dan latihan soal dari guru, hal itu tidak cukup mendukung penguasaan terhadap konsep fisika menjadi lebih baik. Masih rendahnya penguasaan terhadap konsep fisika ditandai oleh nilai prestasi fisika siswa yang masih rendah.    
            Dengan bertolak dari uraian di atas, maka penelitian tentang pendekatan problem posing terhadap prestasi belajar fisika perlu diungkap melalui sebuah penelitian yang dirancang dan diimplementasikan dalam suatu studi eksperimen untuk dilihat efektifitasnya. 
   B. Rumusan Masalah
Dengan mengacu pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
  1. Manakah prestasi belajar fisika siswa yang lebih tinggi antara siswa yang diajar dengan pendekatan problem posing berbasis aktivitas dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional?
  2. Bagaimana kemampuan siswa dalam merumuskan soal bagi kelas yang diajar dengan pendekatan problem posing berbasis aktivitas?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut.
  1. Untuk mengetahui manakah prestasi belajar fisika yang lebih tinggi antara siswa yang   diajar melalui pendekatan problem posing berbasis aktivitas dengan siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional.
  2. Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam merumuskan soal pada kelas yang diajar dengan pendekatan problem posing berbasis aktivitas.
D. Hipotesis Penelitian
            Dengan menjawab permasalahan di atas, perlu diajukan jawaban sementara melalui hipotesis yaitu prestasi belajar fisika bagi siswa yang diajar melalui pendekatan problem posing berbasis aktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan prestasi belajar fisika siswa yang diajar melalui pendekatan konvension
E. Kegunaan penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
  1. Pendidik atau calon pendidik: hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang model pembelajaran dalam pembelajaran fisika yang tepat sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam proses belajar mengajar di sekolah sehingga prestasi belajar siswa dapat ditingkatkan.
  2. Lembaga pendidikan: guna memberikan informasi awal dan bahan referensi untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang kondisi objektif di lapangan bagi pihak-pihak tertentu yang bermaksud mengembangkan atau melakukan penelitian serupa di tempat lain.
F. Asumsi Penelitian
Sebagai landasan dalam penelitian ini maka asumsi yang digunakan yaitu:
  1. Nilai pre-test siswa menggambarkan nilai kemampuan awal siswa.
  2. Kondisi fisiologis (misalnya keadaan fisik, sarana dan prasarana belajar di rumah serta latar belakang orang tua) dan kondisi psikologis siswa (misalnya motivasi, minat dan bakat) dianggap tidak berpengaruh dalam penelitian ini.  
  3. Responden dalam mengisi tes prestasi belajar fisika tidak dalam keadaan terpaksa, mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan jujur, sehingga hasil tes benar-benar mencerminkan prestasi belajar yang dicapai siswa.
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam menginterpretasikan hasil penelitian, maka perlu adanya batasan istilah sebagai berikut.
  1. Prestasi belajar fisika adalah besarnya skor tes fisika yang dicapai siswa setelah mendapat perlakuan selama proses pembelajaran berlangsung.
  2. Problem Posing adalah perumusan masalah (soal) yaitu siswa diarahkan untuk membuat soalnya sendiri. Problem posing ini merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada kegiatan merumuskan soal yang memungkinkan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal.
  3. Pendekatan konvensional adalah suatu pendekatan pembelajaran yang terpusat 
  4. Berbasis aktivitas yaitu tugas melaksanakan percobaan yang harus dilakukan oleh siswa baik secara pribadi maupun kelompok.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Belajar

Banyak definisi yang diberikan tentang 'belajar'. Misalnya Gage (1984), mengartikan 'belajar' sebagai suatu proses di mana organisma berubah perilakunya. Cronbach mendefinisikan belajar: "learning is shown by a change in behavior as a result of experience" (belajar ditunjukkan oleh suatu perubahan
dalam perilaku individu sebagai hasil pengalamannya). Harold Spears mengatakan bahwa: learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction" (belajar adalah untuk mengamati, membaca, meniru, mencoba sendiri sesuatu, mendengarkan, mengikuti arahan).
Adapun Geoch, menegaskan bahwa: "learning is a change in performance as result of practice." (belajar adalah suatu perubahan di dalam unjuk kerja sebagai
hasil praktik).
Kemudian, menurut Ratna Willis Dahar (1988: 25-26), "belajar didefinisikan sebagai perubahan perilaku yang diakibatkan oleh pengalaman". Paling sedikit ada lima macam perilaku perubahan pengalaman dan dianggap sebagai faktor-faktor penyebab dasar dalam belajar: (1) pertama, pada tingkat emosional yang paling primitif, terjadi perubahan perilaku diakibatkan dari perpasangan suatu stimulus tak terkondisi dengan suatu stimulus terkondisi. Sebagai suatu fungsi pengalaman, stimulus terkondisi itu pada suatu waktu memeroleh kemampuan untuk mengeluarkan respons terkondisi. Bentuk semacam ini disebut responden, dan menolong kita untuk memahami bagaimana para siswa menyenangi atau tidak menyenangi sekolah atau bidang-bidang studi, (2) kedua,belajar kontiguitas, yaitu bagaimana dua peristiwa dipasangkan satu dengan yang lain pada suatu waktu, dan hal ini banyak kali kita alami. Kita melihat bagaimana asosiasi ini dapat menyebabkan belajar dari 'drill' dan belajar stereotipe-stereotipe, (3) ketiga, kita belajar bahwa konsekuensi-konsekuensi perilaku memengaruhiapakah perilaku itu akan diulangi atau tidak, dan berapa besar pengulangan itu. Belajar semacam ini disebut belajar operant, (4) keempat, pengalaman belajar sebagai hasil observasi manusia dan kejadian-kejadian model dan masing-masing kita mungkin menjadi suatu model bagi orang lain dalam belajar observasional, (5) kelima, belajar kognitif terjadi dalam kepala kita, bila kita melihat dan memahami peristiwa-peristiwa di sekitar kita, dan dengan insight, belajar menyelami pengertian. Akhirnya, Depdiknas (2003) mendefinisikan 'belajar' sebagai proses membangun makna/pemahaman terhadap informasi dan/atau pengalaman. Proses membangun makna tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama orang lain. Proses itu disaring dengan persepsi, pikiran (pengetahuan awal), dan perasaan siswa. Belajar bukanlah proses menyerap pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru. Hal ini terbukti, yakni hasil ulangan para siswa berbeda-beda padahal mendapat pengajaran yang sama, dari guru yang sama, dan pada saat yang sama. Mengingat belajar adalah kegiatan aktif siswa, yaitu membangun pemahaman, maka partisipasi guru jangan sampai merebut otoritas atau hak siswa dalam membangun gagasannya.
Partisipasi guru harus selalu menempatkan pembangunan pemahaman itu
adalah tanggung jawab siswa itu sendiri, bukan guru. Bila siswa bertanya tentang sesuatu, maka pertanyaan itu harus selalu dikembalikan dulu kepada siswa itu atau siswa lain, sebelum guru memberikan bantuan untuk menjawabnya. Seorang siswa bertanya, "Pak/Bu, apakah tumbuhan punya perasaan?" Guru yang baik akan mengajukan balik pertanyaan itu kepada siswa lain sampai tidak ada seorang pun siswa dapat menjawabnya. Guru kemudian berkata, "Saya sendiri tidak tahu, tetapi bagaimana jika kita melakukan percobaan?". Jadi, berdasarkan deskripsi di atas, 'belajar' dapat dirumuskan sebagai proses siswa membangun gagasan/pemahaman sendiri untuk berbuat, berpikir,berinteraksi sendiri secara lancar dan termotivasi tanpa hambatan guru; baik melalui pengalaman mental, pengalaman fisik, maupun pengalaman sosial.
B. Hakekat Pembelajaran
Pembelajaran merupakan wujud pelaksanaan kurikulum, dengan kata lain
pembelajaran adalah kurikulum dalam kenyataan implementasinya. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan dimaksudkan agar tercipta kondisi yang memungkinkan terjadinya belajar pada diri siswa. Dalam suatu kegiatan pembelajaran dapat dikatakan terjadi belajar, apabila terjadi proses perubahan perilaku pada diri siswa sebagai hasil dari suatu pengalaman (Dimyati, 1990:124).
Dalam halaman yang lain Dimyati (1990:142) menyatakan pembelajaran adalah proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam belajar bagaimana belajar dan memproses pengetahuan, keterampilan dan sikap. Imron (1996:43) menyatakan pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk menciptakan suasana sehingga siswa belajar. Marsiti (2002) mengartikan pembelajaran sebagai suatu cara yang ditempuh guru untuk sampai pada tujuan pembelajaran (siswa belajar). Hasibuan (1986:3) menyatakan bahwa pembelajaran adalah penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan
terjadinya proses belajar. Jadi pembelajaran adalah suatu cara yang digunakan oleh guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa agar siswa dapat belajar.
C.Pendekatan problem Posing berbasis aktivitas
Menurut Brown dan Walter dalam Kadir (2006:7), pada tahun 1989 untuk pertama kalinya istilah problem posing diakui secara resmi oleh National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) sebagai bagian dari national program for re-direction of mathematics education (reformasi pendidikan matematika). Selanjutnya istilah ini dipopulerkan dalam berbagai media seperti buku teks, jurnal serta menjadi saran yang konstruktif dan mutakhir dalam pembelajaran matematika. Problem posing berasal dari bahasa Inggris, yang terdiri dari kata problem dan pose. Problem diartikan sebagai soal, masalah atau persoalan, dan pose yang diartikan sebagai mengajukan (Echols dan Shadily, 1990:439 dan 448). Beberapa peneliti menggunakan istilah lain sebagai padanan kata problem posing dalam penelitiannya seperti pembentukan soal, pembuatan soal, dan pengajuan soal (Yansen, 2005:9).
Suryanto (Sutiarso: 2000) mengemukakan bahwa problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, sebagai padanan katanya digunakan istilah “merumuskan masalah (soal)” atau “membuat masalah (soal)”. Sedangkan menurut Silver (Sutiarso: 2000) bahwa dalam pustaka pendidikan matematika, problem posing mempunyai tiga pengertian, yaitu: pertama, problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit (problem posing sebagai salah satu langkah problem solving). Kedua, problem posing adalah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan lain (sama dengan mengkaji kembali langkah problem solving yang telah dilakukan). Ketiga, problem posing adalah merumuskan atau membuat soal dari situasi yang diberikan.
Sedangkan The Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics merumuskan secara eksplisit bahwa siswa harus mempunyai pengalaman mengenal dan memformulasikan soal-soal (masalah) mereka sendiri. Lebih jauh The Professional Standards for Teaching Mathematics menyarankan hal yang penting bagi guru-guru untuk menyusun soal-soal mereka sendiri. Siswa perlu diberi kesempatan merumuskan soal-soal dari hal-hal yang diketahui dan menciptakan soal-soal baru dengan cara memodifikasi kondisi-kondisi dari masalah-masalah yang diketahui tersebut (Silver & Cai, 1996).
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dirumuskan pengertian problem posing adalah perumusan atau pembuatan masalah/soal sendiri oleh siswa berdasarkan stimulus yang diberikan.
D. Motivasi
1. Pengertian Motivasi
Banyak pakar yang merumuskan definisi 'motivasi' sesuai dengan kajian yang diperdalamnya. Rumusannya beraneka ragam, sesuai dengan sudut pandang dan kajian perspektif bidang telaahnya. Namun demikian, ragam definisi tersebut memiliki ciri dan kesamaan. Di bawah ini dideskripsikan beberapa kutipan pengertian 'motivasi'. Michel J. Jucius (Onong Uchjana Effendy, 1993: 69-70) menyebutkan 'motivasi' sebagai "kegiatan memberikan dorongan kepada seseorang atau diri sendiri untuk mengambil suatu tindakan yang dikehendaki". Menurut Dadi Permadi (2000: 72) 'motivasi' adalah "dorongan dari dalam untuk berbuat sesuatu, baik yang positif maupun yang negatif". Sedangkan menurut Ngalim Purwanto (2004: 64-65), apa saja yang diperbuat manusia, yang penting maupun kurang penting, yang berbahaya maupun yang tidak mengandung resiko, selalu ada motivasinya. Ini berarti, apa pun tindakan yang dilakukan seseorang selalu ada motif tertentu sebagai dorongan ia melakukan tindakannya itu. Jadi, setiap kegiatan yang dilakukan individu selalu ada motivasinya. Lantas, Nasution (2002: 58), membedakan antara 'motif' dan 'motivasi'. Motif adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan motivasi adalah usaha-usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi, sehingga orang itu mau atau ingin melakukannya.


3.      Motivasi Belajar
Dalam kegiatan pembelajaran, 'perhatian' berperan amat penting sebagai langkah awal yang akan memacu aktivitas-aktivitas berikutnya. Dengan 'perhatian', seseorang berupaya memusatkan pikiran, perasaan emosional atau segi fisik dan unsur psikisnya kepada sesuatu yang menjadi tumpuan perhatiannya. Gage dan Berliner (1984) mengungkapkan, tanpa adanya perhatian tidak mungkin terjadi belajar. Jadi, seseorang siswa yang menaruh minat terhadap materi pelajaran, biasanya perhatiannya akan lebih intensif dan kemudian timbul motivasi dalam dirinya untuk mempelajari materi pelajaran tersebut. Di sini, motivasi belajar dapat didefinisikan sebagai usaha-usaha seseorang (siswa) untuk menyediakan segala daya (kondisi-kondisi) untuk belajar sehingga ia mau atau ingin melakukan proses pembelajaran. Dengan demikian, motivasi belajar dapat berasal dari diri pribadi siswa itu sendiri (motivasi intrinsik/motivasi internal) dan/atau berasal dari luar diri pribadi siswa (motivasi ekstrinsik/motivasi eksternal). Kedua jenis motivasi ini jalin-menjalin atau kait mengait menjadi satu membentuk satu sistem motivasi yang menggerakkan siswa untuk belajar.
3. Peningkatan Motivasi Belajar
Motivasi belajar dikatakan meningkat bila indikator motivasi belajar meningkat. Indikator motivasi belajar itu meliputi minat, perhatian, konsentrasi dan ketekunan. Motivasi belajar siswa di kelas, pada saat proses belajar mengajar dapat diamati dari aspek minat, perhatian keseriusan dan ketekunan. Peningkatan minat diamati dari bagaimana peningkatan aktivitas siswa dalam ketepatan waktu menyelesaikan tugas, peningkatan semangat, peningkatan rasa ingin tahu dan peningkatan frekuensi bertanya. Peningkatan motivasi belajar aspek perhatian dapat diamati dari peningkatan aktivitas siswa dalam mengikuti setiap instruksi guru, melaksanaan praktikum dan berpendapat. Peningkatan motivasi siswa aspek konsentrasi dapat diamati dari peningkatan aktivitas siswa dalam memusatkan perhatian ketika guru memberi penjelasan, bimbingan, melakukan demonstrasi dan arahan sebelum praktikum. Peningkatan motivasi siswa aspek ketekunan dapat diamati dari peningkatan aktivitas siswa dalam usahanya menyelesaikan masalah, menyelesaikan tugas secepatnya, diskusi dalam kelompok, melakukan praktikum dan mengerjakan evaluasi.

E. Prestasi Belajar
1. Pengertian Prestasi Belajar
Belajar dapat membawa suatu perubahan pada individu yang belajar. Perubahan ini merupakan pengalaman tingkah laku dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Pengalaman dalam belajar merupakan pengalaman yang dituju pada hasil yang akan dicapai siswa dalam proses belajar di sekolah. Menurut Poerwodarminto (1991: 768), prestasi belajar adalah hasil yang dicapai
(dilakukan, dekerjakan), dalam hal ini prestasi belajar merupakan hasil pekerjaan, hasil penciptaan oleh seseorang yang diperoleh dengan ketelitian kerja serta perjuangan yang membutuhkan pikiran.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa prestasi belajar yang dicapai oleh siswa dengan melibatkan seluruh potensi yang dimilikinya setelah siswa itu melakukan kegiatan belajar. Pencapaian hasil belajar tersebut dapat diketahui dengan mengadakan penilaian tes hasil belajar. Penilaian diadakan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah berhasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru. Di samping itu guru dapat mengetahui sejauh mana keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar di sekolah.
2. Peningkatan Prestasi Belajar.
Prestasi belajar dikatakan meningkat bila indikator prestasi belajar meningkat. Indikator Prestasi belajar itu meliputi aspek koqnitif, psikomotorik dan afektif. Peningkatan prestasi belajar aspek Koqnitif dilihat dari perkembangan hasil evaluasi tiap-tiap akhir pembelajaran dan perkembangan hasil tes akhir siklus PTK. Peningkatan prestasi belajar aspek psikomotorik dilihat dari peningkatan aktivitas siswa dalam menyiapkan alat praktikum, merangkai alat, melakukan pengamatan, menggunakan alat ukur, membaca alat ukur dan menjaga keberfungsian alat-alat praktikum. Peningkatan prestasi belajar aspek afektif dapat diamati dari peningkatan kehadiran siswa, kemampuan siswa dalam mengajukan pertanyaan, kemampuan mengajukan gagasan dan aktivitas belajar.















BAB III
METODE PENELITIAN


A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian tentang pendekatan problem posing berbasis aktivitas untuk pokok bahasan Getaran dan gelombang ini dilaksanakan dalam bentuk eksperimen. Menurut Sudjana (1996:56) penelitian eksperimen yaitu penelitian yang anggota sampelnya diberi perlakuan. Dalam penelitian ini tidak mencantumkan faktor-faktor kondisi fisiologis (misalnya keadaan fisik, sarana dan prasarana, belajar di rumah, di sekolah, serta latar belakang ekonomi orang tua) dan psikologis siswa (misalnya motivasi, minat dan bakat) dianggap tidak berpengaruh dalam penelitian ini.
Karena penelitian ini melibatkan dua kelas sampel, maka desain penelitian yang digunakan adalah Pretest-Postest Control Group Design. Sebelum diberi perlakuan, anggota sampel penelitian terlebih dahulu diberi test awal (pre-test) dengan tujuan mengetahui pengetahuan awal siswa tentang pokok bahasan Getaran dan gelombang.























DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1999. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi   
                Aksa.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Depdikbud. 1995. Kurikulum Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas GBPP
                Fisika. Jakarta: Dirjend Dikdasmen                .

Foster, Bob. 1997. Terpadu Fisika SMU. Jakarta: PT. Erlangga.

Gita, Nyoman. 1999. Pengembangan Strategi Pengajuan Masalah dalam    
              . Pembelajaran Fisikadi SMU. Aneka Widya STIKIP Singaraja, I: 23

Hakim, Lukman. 1995. Pengantar Metodologi Penelitian Pendidikan. Malang:
               FMIPA IKIP MALANG      .

Hudojo, Herman.1988. Mengajar dan Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.

Hudojo, Herman.1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan
              Konstruktivistik. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional; Upaya- 
              upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam
             Menghadapi Era Globalisasi. PPS. IKIP Malang: Tanpa penerbit.
 
 Isparjadi.1988. Statistik Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.

Kusairi, Sentot. 2000. Pembelajaran dengan Pendekatan Konstruktivis dan     
     Kendala-kendala Implementasinya. FMIPA UM.
Nasoetion, S. 1992. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar.
              Jakarta: Bina Aksara   .





1 komentar:

  1. Like Like Like Like Like Like Like Like Like Like Like Like Like Like Like Like Like Like

    BalasHapus