PRESTASI BELAJAR FISIKA POKOK BAHASAN
GETARAN DAN GELOMBANG MELALUI PENDEKATAN PROBLEM
POSING BERBASIS AKTIVITAS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar
merupakan hal yang sangat mendasar yang tidak bisa lepas dari kehidupan semua
orang. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan yang meningkat,
pemerintah berupaya untuk meningkatkan dunia pendidikan. Hal yang harus
dilakukan oleh dunia pendidikan tentunya harus mempersiapkan sumber daya
manusia yang kreatif, mampu memecahkan persoalan-persoalan yang aktual dalam
kehidupan dan mampu menghasilkan teknologi baru yang merupakan perbaikan dari sebelumnya.
Untuk dapat menciptakan teknologi
baru dan agar tidak terbelakang dari dunia ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) serta mempersiapkan sumber daya manusia yang kreatif dalam memecahkan
persoalan-persoalan aktual kehidupan, maka peranan fisika sangat penting bahkan
dapat dikatakan teknologi takkan ada tanpa fisika. Oleh karena itu penguasaan
suatu konsep fisika sangat penting dalam mendukung hal tersebut.
belajar fisika hendaknya fakta konsep dan prinsip-prinsip fakta tidak diterima secara prosedural tanpa pemahaman dan penalaran. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (siswa). Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka. Pengetahuan atau pengertian dibentuk oleh siswa secara aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari guru mereka.
Penelitian
pendidikan sains pada tahun-tahun
terakhir telah menunjukkan suatu pergeseran ke arah paradigma konstruktivis.
Berkenaan dengan pembelajaran konstruktivis, tugas seorang guru adalah
menyediakan atau memberikan kegiatan yang dapat merangsang keingintahuan siswa
dan membantu mereka mengekspresikan gagasan-gagasan mereka serta
mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Jadi peranan guru dalam pembelajaran
adalah mediator dan fasilitator dalam pembentukan pengetahuan dan pemahaman
siswa (Suparno, 1997:65).
Untuk mendukung hal itu, para pakar
pendidikan telah mengembangkan berbagai sistem pembelajaran yang lebih
memperhatikan aspek siswa, salah satunya adalah pembelajaran dengan pendekatan
problem posing. Problem posing (pengajuan soal) adalah salah satu model
pembelajaran yang berorientasi pada aliran konstruktivis, berbeda dengan
pembelajaran yang bersifat konvensional yang lebih menekankan pada hapalan yang
cenderung mematikan daya nalar dan kreativitas berpikir anak (Hudojo, 1998).
Beberapa
hasil penelitian telah menunjukkan manfaat dari pembelajaran problem posing,
problem posing merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam pembelajaran fisika
yang dapat mengaktifkan siswa, mengembangkan kemampuan berpikir siswa dalam
menyelesaikan masalah serta menimbulkan sikap positif terhadap fisika.
Membiasakan siswa dalam merumuskan, menghadapi dan menyelesaikan soal merupakan
salah satu cara untuk mencapai penguasaan suatu konsep akan menjadi lebih baik.
Hal ini sejalan dengan pendapat aliran Behaviorisme yang menyatakan bahwa untuk
mencapai pemahaman yang lebih baik dapat dilakukan dengan cara mengulang-ulang
masalah yang disampaikan (Hudojo, 1988:32).
Dikaitkan
dengan pengertian fisika sebagai bagian dari IPA, model pembelajaran dengan
problem posing berbasis aktivitas ini cocok untuk diterapkan dalam pembelajaran
fisika. Hal ini karena problem posing berbasis aktivitas lebih menekankan pada
keaktifan siswa dalam belajar, siswa terlebih dahulu mengadakan
kegiatan-kegiatan di laboratorium yaitu proses mengamati, mencatat hasil
pengamatan, menganalisis dan menyimpulkan kegiatan praktikum yang telah
dirancang oleh guru. Hal itu akan lebih membuat belajar fisika menjadi
menyenangkan dan lebih berkesan, karena siswa terlibat langsung dalam proses
pembelajaran. Fisika merupakan generalisasi dari gejala alam yang tidak perlu
dihapal tetapi perlu dimengerti, dipahami dan diterapkan.
Pada tingkat SLTP dan SMU, strategi pengajuan soal selaras dengan tujuan khusus pengajaran yaitu agar siswa dapat mempunyai pandangan luas dan mempunyai sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin serta menghargai kegunaan fisika. Dalam pembelajaran, guru hendaknya memilih strategi yang melibatkan siswa baik secara mental, fisik maupun sosial.
Jika dilihat dari kenyataan yang ada di lapangan, bahwa sistem pembelajaran yang diterapkan di SMUN, lebih didominasi oleh pembelajaran konvensional. Siswa cenderung pasif karena mereka hanya menerima materi dan latihan soal dari guru, hal itu tidak cukup mendukung penguasaan terhadap konsep fisika menjadi lebih baik. Masih rendahnya penguasaan terhadap konsep fisika ditandai oleh nilai prestasi fisika siswa yang masih rendah.
Dengan bertolak dari uraian di atas,
maka penelitian tentang pendekatan problem posing terhadap prestasi belajar
fisika perlu diungkap melalui sebuah penelitian yang dirancang dan
diimplementasikan dalam suatu studi eksperimen untuk dilihat efektifitasnya.
B. Rumusan Masalah
Dengan mengacu pada latar belakang
di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
- Manakah prestasi belajar fisika siswa yang lebih tinggi antara siswa yang diajar dengan pendekatan problem posing berbasis aktivitas dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional?
- Bagaimana kemampuan siswa dalam merumuskan soal bagi kelas yang diajar dengan pendekatan problem posing berbasis aktivitas?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
maka tujuan diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut.
- Untuk mengetahui manakah prestasi belajar fisika yang lebih tinggi antara siswa yang diajar melalui pendekatan problem posing berbasis aktivitas dengan siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional.
- Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam merumuskan soal pada kelas yang diajar dengan pendekatan problem posing berbasis aktivitas.
D. Hipotesis Penelitian
Dengan menjawab permasalahan di
atas, perlu diajukan jawaban sementara melalui hipotesis yaitu prestasi belajar
fisika bagi siswa yang diajar melalui pendekatan problem posing berbasis
aktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan prestasi belajar fisika siswa yang
diajar melalui pendekatan konvension
E. Kegunaan penelitian
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
- Pendidik atau calon pendidik: hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang model pembelajaran dalam pembelajaran fisika yang tepat sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam proses belajar mengajar di sekolah sehingga prestasi belajar siswa dapat ditingkatkan.
- Lembaga pendidikan: guna memberikan informasi awal dan bahan referensi untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang kondisi objektif di lapangan bagi pihak-pihak tertentu yang bermaksud mengembangkan atau melakukan penelitian serupa di tempat lain.
F. Asumsi Penelitian
Sebagai landasan dalam penelitian ini maka asumsi yang
digunakan yaitu:
- Nilai pre-test siswa menggambarkan nilai kemampuan awal siswa.
- Kondisi fisiologis (misalnya keadaan fisik, sarana dan prasarana belajar di rumah serta latar belakang orang tua) dan kondisi psikologis siswa (misalnya motivasi, minat dan bakat) dianggap tidak berpengaruh dalam penelitian ini.
- Responden dalam mengisi tes prestasi belajar fisika tidak dalam keadaan terpaksa, mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan jujur, sehingga hasil tes benar-benar mencerminkan prestasi belajar yang dicapai siswa.
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahpahaman
dalam menginterpretasikan hasil penelitian, maka perlu adanya batasan istilah
sebagai berikut.
- Prestasi belajar fisika adalah besarnya skor tes fisika yang dicapai siswa setelah mendapat perlakuan selama proses pembelajaran berlangsung.
- Problem Posing adalah perumusan masalah (soal) yaitu siswa diarahkan untuk membuat soalnya sendiri. Problem posing ini merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada kegiatan merumuskan soal yang memungkinkan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal.
- Pendekatan konvensional adalah suatu pendekatan pembelajaran yang terpusat
- Berbasis aktivitas yaitu tugas melaksanakan percobaan yang harus dilakukan oleh siswa baik secara pribadi maupun kelompok.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Belajar
Banyak definisi yang diberikan tentang 'belajar'.
Misalnya Gage (1984), mengartikan 'belajar' sebagai suatu proses di mana
organisma berubah perilakunya. Cronbach mendefinisikan belajar: "learning
is shown by a change in behavior as a result of experience" (belajar
ditunjukkan oleh suatu perubahan
dalam
perilaku individu sebagai hasil pengalamannya). Harold Spears mengatakan bahwa:
learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves,
to listen, to follow direction" (belajar adalah untuk mengamati, membaca,
meniru, mencoba sendiri sesuatu, mendengarkan, mengikuti arahan).
Adapun
Geoch, menegaskan bahwa: "learning is a change in performance as result
of practice." (belajar adalah suatu perubahan di dalam unjuk kerja
sebagai
hasil
praktik).
Kemudian, menurut Ratna Willis Dahar (1988: 25-26),
"belajar didefinisikan sebagai perubahan perilaku yang diakibatkan oleh
pengalaman". Paling sedikit ada lima macam perilaku perubahan pengalaman
dan dianggap sebagai faktor-faktor penyebab dasar dalam belajar: (1) pertama,
pada tingkat emosional yang paling primitif, terjadi perubahan perilaku
diakibatkan dari perpasangan suatu stimulus tak terkondisi dengan suatu
stimulus terkondisi. Sebagai suatu fungsi pengalaman, stimulus terkondisi itu
pada suatu waktu memeroleh kemampuan untuk mengeluarkan respons terkondisi.
Bentuk semacam ini disebut responden, dan menolong kita untuk memahami
bagaimana para siswa menyenangi atau tidak menyenangi sekolah atau
bidang-bidang studi, (2) kedua,belajar kontiguitas, yaitu bagaimana dua
peristiwa dipasangkan satu dengan yang lain pada suatu waktu, dan hal ini
banyak kali kita alami. Kita melihat bagaimana asosiasi ini dapat menyebabkan
belajar dari 'drill' dan belajar stereotipe-stereotipe, (3) ketiga, kita belajar
bahwa konsekuensi-konsekuensi perilaku memengaruhiapakah perilaku itu akan diulangi
atau tidak, dan berapa besar pengulangan itu. Belajar semacam ini disebut
belajar operant, (4) keempat, pengalaman belajar sebagai hasil observasi
manusia dan kejadian-kejadian model dan masing-masing kita mungkin menjadi
suatu model bagi orang lain dalam belajar observasional, (5) kelima, belajar
kognitif terjadi dalam kepala kita, bila kita melihat dan memahami
peristiwa-peristiwa di sekitar kita, dan dengan insight, belajar menyelami
pengertian. Akhirnya, Depdiknas (2003) mendefinisikan 'belajar' sebagai proses membangun
makna/pemahaman terhadap informasi dan/atau pengalaman. Proses membangun makna
tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama orang lain. Proses itu
disaring dengan persepsi, pikiran (pengetahuan awal), dan perasaan siswa.
Belajar bukanlah proses menyerap pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru. Hal
ini terbukti, yakni hasil ulangan para siswa berbeda-beda padahal mendapat
pengajaran yang sama, dari guru yang sama, dan pada saat yang sama. Mengingat
belajar adalah kegiatan aktif siswa, yaitu membangun pemahaman, maka
partisipasi guru jangan sampai merebut otoritas atau hak siswa dalam membangun
gagasannya.
Partisipasi guru harus selalu menempatkan
pembangunan pemahaman itu
adalah
tanggung jawab siswa itu sendiri, bukan guru. Bila siswa bertanya tentang sesuatu,
maka pertanyaan itu harus selalu dikembalikan dulu kepada siswa itu atau siswa
lain, sebelum guru memberikan bantuan untuk menjawabnya. Seorang siswa
bertanya, "Pak/Bu, apakah tumbuhan punya perasaan?" Guru yang baik akan
mengajukan balik pertanyaan itu kepada siswa lain sampai tidak ada seorang pun
siswa dapat menjawabnya. Guru kemudian berkata, "Saya sendiri tidak tahu, tetapi
bagaimana jika kita melakukan percobaan?". Jadi, berdasarkan deskripsi di
atas, 'belajar' dapat dirumuskan sebagai proses siswa membangun
gagasan/pemahaman sendiri untuk berbuat, berpikir,berinteraksi sendiri secara
lancar dan termotivasi tanpa hambatan guru; baik melalui pengalaman mental,
pengalaman fisik, maupun pengalaman sosial.
B. Hakekat Pembelajaran
Pembelajaran merupakan wujud pelaksanaan kurikulum,
dengan kata lain
pembelajaran
adalah kurikulum dalam kenyataan implementasinya. Kegiatan pembelajaran yang
dilakukan dimaksudkan agar tercipta kondisi yang memungkinkan terjadinya
belajar pada diri siswa. Dalam suatu kegiatan pembelajaran dapat dikatakan
terjadi belajar, apabila terjadi proses perubahan perilaku pada diri siswa
sebagai hasil dari suatu pengalaman (Dimyati, 1990:124).
Dalam halaman yang lain Dimyati (1990:142)
menyatakan pembelajaran adalah proses yang diselenggarakan oleh guru untuk
membelajarkan siswa dalam belajar bagaimana belajar dan memproses pengetahuan,
keterampilan dan sikap. Imron (1996:43) menyatakan pembelajaran adalah suatu
kegiatan yang dimaksudkan untuk menciptakan suasana sehingga siswa belajar.
Marsiti (2002) mengartikan pembelajaran sebagai suatu cara yang ditempuh guru
untuk sampai pada tujuan pembelajaran (siswa belajar). Hasibuan (1986:3)
menyatakan bahwa pembelajaran adalah penciptaan sistem lingkungan yang
memungkinkan
terjadinya
proses belajar. Jadi pembelajaran adalah suatu cara yang digunakan oleh guru
untuk menyampaikan informasi kepada siswa agar siswa dapat belajar.
C.Pendekatan problem Posing berbasis aktivitas
Menurut Brown dan Walter dalam Kadir (2006:7), pada
tahun 1989 untuk pertama kalinya istilah problem posing diakui secara resmi
oleh National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) sebagai bagian dari
national program for re-direction of mathematics education (reformasi
pendidikan matematika). Selanjutnya istilah ini dipopulerkan dalam berbagai
media seperti buku teks, jurnal serta menjadi saran yang konstruktif dan
mutakhir dalam pembelajaran matematika. Problem posing berasal dari bahasa
Inggris, yang terdiri dari kata problem dan pose. Problem diartikan sebagai
soal, masalah atau persoalan, dan pose yang diartikan sebagai mengajukan
(Echols dan Shadily, 1990:439 dan 448). Beberapa peneliti menggunakan istilah
lain sebagai padanan kata problem posing dalam penelitiannya seperti
pembentukan soal, pembuatan soal, dan pengajuan soal (Yansen, 2005:9).
Suryanto
(Sutiarso: 2000) mengemukakan bahwa problem posing merupakan istilah dalam
bahasa Inggris, sebagai padanan katanya digunakan istilah “merumuskan masalah
(soal)” atau “membuat masalah (soal)”. Sedangkan menurut Silver (Sutiarso:
2000) bahwa dalam pustaka pendidikan matematika, problem posing mempunyai tiga
pengertian, yaitu: pertama, problem posing adalah perumusan soal sederhana atau
perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana
dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit (problem posing
sebagai salah satu langkah problem solving). Kedua, problem posing adalah
perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah
dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan lain (sama dengan mengkaji
kembali langkah problem solving yang telah dilakukan). Ketiga, problem posing
adalah merumuskan atau membuat soal dari situasi yang diberikan.
Sedangkan The Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics merumuskan secara eksplisit bahwa siswa harus mempunyai pengalaman mengenal dan memformulasikan soal-soal (masalah) mereka sendiri. Lebih jauh The Professional Standards for Teaching Mathematics menyarankan hal yang penting bagi guru-guru untuk menyusun soal-soal mereka sendiri. Siswa perlu diberi kesempatan merumuskan soal-soal dari hal-hal yang diketahui dan menciptakan soal-soal baru dengan cara memodifikasi kondisi-kondisi dari masalah-masalah yang diketahui tersebut (Silver & Cai, 1996).
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dirumuskan pengertian problem posing adalah perumusan atau pembuatan masalah/soal sendiri oleh siswa berdasarkan stimulus yang diberikan.
Sedangkan The Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics merumuskan secara eksplisit bahwa siswa harus mempunyai pengalaman mengenal dan memformulasikan soal-soal (masalah) mereka sendiri. Lebih jauh The Professional Standards for Teaching Mathematics menyarankan hal yang penting bagi guru-guru untuk menyusun soal-soal mereka sendiri. Siswa perlu diberi kesempatan merumuskan soal-soal dari hal-hal yang diketahui dan menciptakan soal-soal baru dengan cara memodifikasi kondisi-kondisi dari masalah-masalah yang diketahui tersebut (Silver & Cai, 1996).
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dirumuskan pengertian problem posing adalah perumusan atau pembuatan masalah/soal sendiri oleh siswa berdasarkan stimulus yang diberikan.
D. Motivasi
1. Pengertian Motivasi
Banyak pakar
yang merumuskan definisi 'motivasi' sesuai dengan kajian yang diperdalamnya.
Rumusannya beraneka ragam, sesuai dengan sudut pandang dan kajian perspektif bidang
telaahnya. Namun demikian, ragam definisi tersebut memiliki ciri dan kesamaan.
Di bawah ini dideskripsikan beberapa kutipan pengertian 'motivasi'. Michel J.
Jucius (Onong Uchjana Effendy, 1993: 69-70) menyebutkan 'motivasi' sebagai
"kegiatan memberikan dorongan kepada seseorang atau diri sendiri untuk
mengambil suatu tindakan yang dikehendaki". Menurut Dadi Permadi (2000:
72) 'motivasi' adalah "dorongan dari dalam untuk berbuat sesuatu, baik
yang positif maupun yang negatif". Sedangkan menurut Ngalim Purwanto (2004:
64-65), apa saja yang diperbuat manusia, yang penting maupun kurang penting,
yang berbahaya maupun yang tidak mengandung resiko, selalu ada motivasinya. Ini
berarti, apa pun tindakan yang dilakukan seseorang selalu ada motif tertentu
sebagai dorongan ia melakukan tindakannya itu. Jadi, setiap kegiatan yang
dilakukan individu selalu ada motivasinya. Lantas, Nasution (2002: 58),
membedakan antara 'motif' dan 'motivasi'. Motif adalah segala daya yang
mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan motivasi adalah usaha-usaha
untuk menyediakan kondisi-kondisi, sehingga orang itu mau atau ingin
melakukannya.
3. Motivasi Belajar
Dalam kegiatan pembelajaran, 'perhatian' berperan amat penting sebagai langkah
awal yang akan memacu aktivitas-aktivitas berikutnya. Dengan 'perhatian',
seseorang berupaya memusatkan pikiran, perasaan emosional atau segi fisik dan
unsur psikisnya kepada sesuatu yang menjadi tumpuan perhatiannya. Gage dan
Berliner (1984) mengungkapkan, tanpa adanya perhatian tidak mungkin terjadi
belajar. Jadi, seseorang siswa yang menaruh minat terhadap materi pelajaran,
biasanya perhatiannya akan lebih intensif dan kemudian timbul motivasi dalam
dirinya untuk mempelajari materi pelajaran tersebut. Di sini, motivasi belajar
dapat didefinisikan sebagai usaha-usaha seseorang (siswa) untuk menyediakan
segala daya (kondisi-kondisi) untuk belajar sehingga ia mau atau ingin
melakukan proses pembelajaran. Dengan demikian, motivasi belajar dapat berasal
dari diri pribadi siswa itu sendiri (motivasi intrinsik/motivasi internal)
dan/atau berasal dari luar diri pribadi siswa (motivasi ekstrinsik/motivasi
eksternal). Kedua jenis motivasi ini jalin-menjalin atau kait mengait menjadi
satu membentuk satu sistem motivasi yang menggerakkan siswa untuk belajar.
3. Peningkatan Motivasi Belajar
Motivasi belajar dikatakan meningkat bila indikator
motivasi belajar meningkat. Indikator motivasi belajar itu meliputi minat,
perhatian, konsentrasi dan ketekunan. Motivasi belajar siswa di kelas, pada
saat proses belajar mengajar dapat diamati dari aspek minat, perhatian
keseriusan dan ketekunan. Peningkatan minat diamati dari bagaimana peningkatan
aktivitas siswa dalam ketepatan waktu menyelesaikan tugas, peningkatan
semangat, peningkatan rasa ingin tahu dan peningkatan frekuensi bertanya.
Peningkatan motivasi belajar aspek perhatian dapat diamati dari peningkatan
aktivitas siswa dalam mengikuti setiap instruksi guru, melaksanaan praktikum
dan berpendapat. Peningkatan motivasi siswa aspek konsentrasi dapat diamati
dari peningkatan aktivitas siswa dalam memusatkan perhatian ketika guru memberi
penjelasan, bimbingan, melakukan demonstrasi dan arahan sebelum praktikum.
Peningkatan motivasi siswa aspek ketekunan dapat diamati dari peningkatan
aktivitas siswa dalam usahanya menyelesaikan masalah, menyelesaikan tugas
secepatnya, diskusi dalam kelompok, melakukan praktikum dan mengerjakan
evaluasi.
E. Prestasi Belajar
1. Pengertian Prestasi Belajar
Belajar dapat membawa suatu perubahan pada individu yang
belajar. Perubahan ini merupakan pengalaman tingkah laku dari yang kurang baik
menjadi lebih baik. Pengalaman dalam belajar merupakan pengalaman yang dituju
pada hasil yang akan dicapai siswa dalam proses belajar di sekolah. Menurut Poerwodarminto
(1991: 768), prestasi belajar adalah hasil yang dicapai
(dilakukan,
dekerjakan), dalam hal ini prestasi belajar merupakan hasil pekerjaan, hasil
penciptaan oleh seseorang yang diperoleh dengan ketelitian kerja serta perjuangan
yang membutuhkan pikiran.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa
prestasi belajar yang dicapai oleh siswa dengan melibatkan seluruh potensi yang
dimilikinya setelah siswa itu melakukan kegiatan belajar. Pencapaian hasil
belajar tersebut dapat diketahui dengan mengadakan penilaian tes hasil belajar.
Penilaian diadakan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah berhasil mengikuti
pelajaran yang diberikan oleh guru. Di samping itu guru dapat mengetahui sejauh
mana keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar di sekolah.
2. Peningkatan Prestasi Belajar.
Prestasi belajar dikatakan meningkat bila indikator
prestasi belajar meningkat. Indikator Prestasi belajar itu meliputi aspek
koqnitif, psikomotorik dan afektif. Peningkatan prestasi belajar aspek Koqnitif
dilihat dari perkembangan hasil evaluasi tiap-tiap akhir pembelajaran dan
perkembangan hasil tes akhir siklus PTK. Peningkatan prestasi belajar aspek
psikomotorik dilihat dari peningkatan aktivitas siswa dalam menyiapkan alat
praktikum, merangkai alat, melakukan pengamatan, menggunakan alat ukur, membaca
alat ukur dan menjaga keberfungsian alat-alat praktikum. Peningkatan prestasi
belajar aspek afektif dapat diamati dari peningkatan kehadiran siswa, kemampuan
siswa dalam mengajukan pertanyaan, kemampuan mengajukan gagasan dan aktivitas
belajar.
BAB III
METODE PENELITIAN
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian tentang pendekatan problem posing berbasis
aktivitas untuk pokok bahasan Getaran dan gelombang ini dilaksanakan dalam
bentuk eksperimen. Menurut Sudjana (1996:56) penelitian eksperimen yaitu
penelitian yang anggota sampelnya diberi perlakuan. Dalam penelitian ini tidak
mencantumkan faktor-faktor kondisi fisiologis (misalnya keadaan fisik, sarana
dan prasarana, belajar di rumah, di sekolah, serta latar belakang ekonomi orang
tua) dan psikologis siswa (misalnya motivasi, minat dan bakat) dianggap tidak
berpengaruh dalam penelitian ini.
Karena penelitian ini melibatkan dua kelas sampel,
maka desain penelitian yang digunakan adalah Pretest-Postest Control Group
Design. Sebelum diberi perlakuan, anggota sampel penelitian terlebih dahulu
diberi test awal (pre-test) dengan tujuan mengetahui pengetahuan awal siswa
tentang pokok bahasan Getaran dan gelombang.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,
Suharsimi. 1999. Dasar-dasar Evaluasi
Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksa.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Depdikbud. 1995. Kurikulum Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas GBPP
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Depdikbud. 1995. Kurikulum Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas GBPP
Fisika. Jakarta:
Dirjend Dikdasmen .
Foster, Bob. 1997. Terpadu Fisika SMU. Jakarta: PT. Erlangga.
Gita, Nyoman. 1999. Pengembangan Strategi Pengajuan Masalah dalam
Foster, Bob. 1997. Terpadu Fisika SMU. Jakarta: PT. Erlangga.
Gita, Nyoman. 1999. Pengembangan Strategi Pengajuan Masalah dalam
. Pembelajaran Fisikadi SMU. Aneka Widya
STIKIP Singaraja, I: 23
Hakim, Lukman. 1995. Pengantar Metodologi Penelitian Pendidikan. Malang:
Hakim, Lukman. 1995. Pengantar Metodologi Penelitian Pendidikan. Malang:
FMIPA IKIP MALANG .
Hudojo, Herman.1988. Mengajar dan Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Hudojo, Herman.1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan
Hudojo, Herman.1988. Mengajar dan Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Hudojo, Herman.1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan
Konstruktivistik. Makalah
disajikan dalam Seminar Nasional; Upaya-
upaya Meningkatkan Peran
Pendidikan Matematika dalam
Menghadapi Era Globalisasi. PPS. IKIP
Malang: Tanpa penerbit.
Isparjadi.1988. Statistik Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
Kusairi, Sentot. 2000. Pembelajaran dengan Pendekatan Konstruktivis dan
Isparjadi.1988. Statistik Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
Kusairi, Sentot. 2000. Pembelajaran dengan Pendekatan Konstruktivis dan
Kendala-kendala Implementasinya. FMIPA UM.
Nasoetion,
S. 1992. Berbagai Pendekatan dalam Proses
Belajar dan Mengajar.
Jakarta: Bina Aksara .